May 08, 2019
loading

USIA KRONOLOGIS DAN KESIAPAN SEKOLAH

Posted by    admin

USIA KRONOLOGIS DAN KESIAPAN SEKOLAH

 

Pertanyaan yang seringkali muncul setiap kali memasuki tahun ajaran baru adalah “usia berapa ya anak sudah bisa masuk Sekolah Dasar?”

Apakah usia menjadi satu-satunya prediktor kesiapan anak masuk sekolah? Yang perlu digaris bawahi adalah usia akan selalu menjadi prediktor “kesiapan sekolah” yang lemah (sumber : Encyclopedia on Early Childhood Development, 2017).

Mengapa usia kronologis anak tidak bisa dijadikan indikator utama kesiapan sekolah? Karena usia kronologis bukanlah penentu keberhasilan pemenuhan tugas perkembangan anak sesuai tahapan usianya, yang merupakan indikator lain dari kesiapan sekolah. Contoh : “Social awareness ability” tidak serta merta mampu secara otomatis dikuasai sepenuhnya oleh anak di usianya yang ke 7 tahun. Di sisi lain, bisa jadi ada anak usia 6 tahun yang sudah mampu mengembangkan kemampuan tersebut.

Lalu, apa saja faktor-faktor lain yang menjadi indikator kesiapan sekolah selain usia kronologis anak? Kesiapan secara psikologis yang erat kaitannya dengan aspek-aspek perkembangan anak, meliputi kognitif, bahasa, sosial, motorik, pengelolaan emosi diri dan kemandirian.

UNICEF (2012), memaparkan 3 dimensi kesiapan sekolah pada anak dalam perspektif yang lebih luas, yaitu :

  1. Anak yang siap; berfokus pada pembelajaran dan perkembangan anak.
  2. Sekolah yang siap; berfokus pada lingkungan sekolah yang mendukung kelancaran transisi anak menuju sekolah dasar disertai peningkatan dan promosi belajar bagi seluruh anak.
  3. Keluarga yang siap; berfokus pada sikap dan keterlibatan pengasuh atau orang tua pada pembelajaran dini anak mereka serta perkembangan dan transisi menuju sekolah.

Sehingga kesiapan sekolah tidak semata-mata diukur dari kesiapan internal dalam diri anak itu sendiri namun perlu ditunjang dari dimensi sekolah dan keluarga. Pendekatan sistemik yang lebih luas.

Sejumlah penelitian mengkonfirmasi bahwa prediktor kesiapan sekolah yang paling kuat adalah pola asuh yang supportive dan stimulasi di lingkungan rumah. Hal ini terbukti menjadi salah satu prediktor terkuat dari pencapaian anak di sekolah dasar dan di tingkatan selanjutnya (Bradley & Corwyn, 2005; Burchinal et al., 2002; Morisson & Cooney, 2002; Richter, 2004; Rogoff, 2003; Werner & Smith, 2001; Whiting & Edwards, 1998).

Maka sejauh mana kesiapan anak memasuki sekolah akan sangat dipengaruhi oleh kesiapan keluarga dalam membentuk anak yang siap. Seperti apa? Tersedianya lingkungan belajar di rumah, ditunjukkan dari keterlibatan orang tua dengan anak-anak mereka melalui aktivitas seperti menyanyi, membaca buku, bercerita dan bermain permainan. Kesemuanya dianggap sebagai salah satu karakteristik dari keluarga yang siap (Britto, Fuligni, and Brooks-Gun, 2002; Forget-Dubois et al., 2009; Bradley, Corwyn & Whiteside-Mansell, 1966).

Hubungan keluarga yang supportive dan responsive adalah pondasi utama dari perkembangan sosial dan emosional anak yang dibutuhkan untuk kesuksesan di sekolah. Anak-anak dari ibu yang lebih responsive terhadap kebutuhan perkembangan mereka, memiliki kosa kata yang luas dan kemampuan kognitif lebih baik, serta antusiasme dan kegigihan untuk belajar dibandingkan anak-anak dari ibu yang kurang responsive (Eshel et al., 2006).

Rentang usia 5/6 tahun sampai 6/7 tahun adalah masa krusial untuk memantapkan kesiapan anak memasuki sekolah dasar. Sejauh mana kesiapan anak akan berbeda satu sama lainnya walaupun berada pada rentang usia yang sama. Tingkat kesiapan anak tidak ditentukan dari usia semata namun dari kualitas pengasuhan orang tua serta stimulasi di dalam rumah yang mendukung pada terbentuknya kesiapan untuk belajar.

Jika usia menjadi satu-satunya indikator utama kesiapan sekolah dan orang tua pun tidak memasukkan anak ke program pendidikan anak usia dini bahkan tidak menstimulasi anak secara optimal di rumah, maka kesiapan itu tidak otomatis terbangun dengan sendirinya seiring penambahan usia.

Usia berapa sebaiknya anak mulai diperkenalkan dengan sekolah? Idealnya usia 4 sampai 5 tahun dengan memasukkan mereka ke Taman kanak-kanak. Fungsinya untuk apa? Menumbuhkan kesiapan untuk belajar membaca, menulis dan berhitung kelak saat masuk sekolah dasar, bukan belajar calistung saat di TK. Hal-hal yang ditumbuhkembangkan di TK adalah melatih kesiapan kognisi, sensori motorik, persepsi visual dan konsentrasi melalui permainan.

Benarkah sepenting itu memasukkan anak ke TK? Toh mereka hanya akan diajarkan menyanyi atau bertepuk tangan. Sebenarnya, hal-hal seprti itulah yang mesti dipelajari dan dilatih pada anak usia TK untuk kesiapan mereka belajar calistung kelak.

Pertanyaannya, bisakah dilakukan di rumah? Tentu bisa, dengan catatan orang tua/pengasuh memahami tujuan pembelajaran di setiap aktivitas tersebut. Alokasikan waktu khusus dan catat progress anak secara berkala.

Ragam aktivitas di TK dan keterkaitannya dengan membangun kesiapan anak belajar calistung, antara lain :

  1. Menyanyi : melatih artikulasi dan pelafalan kata. Anak belajar membunyikan suara, belajar bicara dengan benar. Ini adalah modal awal untuk bisa belajar membaca huruf dan kata. Jika artikulasi dan pelafalan belum mahir, maka proses belajar membaca akan terhambat.
  2. Membilang angka dengan bantuan jari, menumbuhkan sense of number, penghayatan angka dan menstimulasi area sensori motorik.
  3. Bermain balon, menepuk balon ke atas dengan tangan supaya tidak jatuh. Merupakan stimulasi kekuatan motorik tangan untuk menyiapkan kemampuan anak memegang dan menggerakkan alat tulis.
  4. Bertepuk tangan mengikuti irama, membangun kepekaan terhadap bunyi sebagai modal dasar kemampuan mengenali bunyi huruf saat belajar membaca kelak.
  5. Bermain lego, melatih konsentrasi dan pengolahan bentuk.
  6. Bermain plastisin atau playdough, melatih kekuatan dan keterampilan jari-jari tangan.

Masih banyak lagi hal lain yang diajarkan di TK dan memiliki tujuan spesifik untuk membangun kesiapan anak belajar kelak, bukan sekedar bermain tanpa tujuan.

Apakah benar anak yang bersekolah di bawah usia 7 tahun akan bosan belajar? Hasil riset menunjukkan bahwa kebosanan tidak ditentukan dari kapan anak mulai bersekolah tapi karena apa yang terjadi di dalam sekolahnya (keluargakita.com, 2018). Aspek yang memberi kontribusi adalah guru atau tenaga pengajar, materi dan kurikulum sekolah serta tantangan bagi anak (tuntutan tinggi atau cukup realistis).

Karakteristik anak siap memasuki sekolah dasar :

  1. Fisik : mampu mengontrol otot-ototnya, untuk mampu menulis, menggambar, menggunakan tangan untuk keterampilan menempel, menggunting, menguntai. Mampu duduk diam dan tertib untuk waktu tertentu.
  2. Kognitif : mampu memahami penjelasan guru dan menjawab pertanyaan. Mampu mengeksplorasi benda-benda melalui motoriknya. Mengenali konsep sederhana serta memecahkan masalah sederhana keseharian.
  3. Emosional : Tidak lagi terikat dengan ibu, dapat berpisah sementara waktu. Penerimaan terhadap figure otoritas lain selain orang tua. Tidak cengeng atau mudah marah dan dapat mengendalikan emosi.
  4. Sosial : mampu merespons kehadiran orang lain. Sudah cukup mandiri, tidak takut atau ragu-ragu dalam beraktivitas. Mampu mengembangkan aktivitas di lingkungan sekitarnya.

Anak dikatakan siap jika sudah mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Jika kemampuan tersebut tidak tampil dalam perilaku anak atau karena keterbatasan kemampuan orang tua dalam mengamatinya, mintalah bantuan professional Psikolog untuk mengukur kesiapan anak.

Memasukkan anak ke SD apakah harus di usia 7 tahun atau boleh di bawah usia tersebut? Tergantung sejauh mana kesiapannya pada aspek fisik, kognitif, motorik, emosi dan sosial. Antisipasi faktor resiko yang menyertainya, karena setiap pilihan akan selalu ada sisi positif dan negatif.

Contoh faktor resiko misalnya memutuskan untuk menunda masuk SD di saat anak sebenarnya sudah menunjukkan kesiapan, maka orang tua perlu mencari alternative aktivitas selain sekolah yang dapat memenuhi rasa ingin tahunya yang semakin berkembang dan tidak dapat dipenuhi di TK.

Kasus lain, anak menunjukkan kesiapan saat usia belum genap 7 tahun, maka orang tua perlu mencari sekolah yang mempertimbangkan faktor lain selain usia sebagai indikator kesiapan sekolah.

Pilihan untuk memasukkan anak ke SD atau tidak, saat mereka sudah menunjukkan kesiapan, sepenuhnya tergantung value dan konteks keluarga. Akan selalu ada risk factor di setiap pilihan tersebut. Ini yang harus dipahami oleh setiap orang tua.

Miranty Novia Wardhani, S.Psi

RS. dr. H. Marzoeki mahdi Bogor

  • Share to :