REGULASI DIRI
Tantangan yang sering dihadapi orang tua dalam pengasuhan anak adalah bagaimana mereka mampu mengelola perilaku dan emosinya sesuai tuntutan lingkungan.
Mampu meregulasi diri itu artinya mampu menahan reaksi emosi yang intens terhadap stimulus yang tidak menyenangkan (membuat marah, sedih, kecewa dll), bisa menenangkan diri sendiri saat kecewa, menyesuaikan diri dengan harapan yang berubah atau mengatasi frustrasi tanpa berlebihan.
Mengapa ada anak-anak yang bermasalah dalam meregulasi dirinya?
Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa masalah pengendalian diri dan emosi adalah kombinasi dari temperamen dan perilaku yang dipelajari.
Terdapat bayi yang sulit melakukan self-shooting dan mudah terganggu, misalnya saat dimandikan atau dipakaikan baju. Anak-anak seperti ini cenderung lebih mudah mengalami masalah dalam regulasi diri dan emosi ketika mereka beranjak besar.
Namun, faktor lingkungan pun memegang peranan penting. Ketika orang tua harus selalu turun tangan dan bekerja keras dalam menghentikan perilaku tantrum untuk menenangkan anak yang bertingkah, anak akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan kedisiplinan dalam diri. Ia akan selalu memerlukan kehadiran orang tua sebagai external self regulators.
Ketika siklus ini terjadi berulangkali, maka ia hanya akan mampu meregulasi dirinya jika ada bantuan dari luar.
Anak-anak dengan ADHD, anxiety atau ASD pada umumnya bermasalah dalam mengelola emosinya dan butuh bantuan untuk mengembangkan keterampilan regulasi emosi.
Bagaimana dengan anak-anak typical (pada umumnya) cara seperti apa yang bisa dilakukan orang tua untuk membangun regulasi diri?
Bisa dimulai sejak 5 tahun pertama kehidupannya. Orang tua memegang peranan penting dalam mengajarkan anak tentang regulasi diri.
Kuncinya adalah bukan dengan menghindarkan anak dari situasi sulit yang tidak dapat diatasinya. Namun, dengan melatih anak melalui dirinya sendiri dan menyediakan kerangka kerja yang "supportive" ,sampai mereka benar-benar mampu mengatasi tantangan tersebut oleh dirinya sendiri.
Contoh : anak kesulitan menyelesaikan PR matematikanya, orang tua umumnya seringkali terus mendorong anak dengan berbagai cara agar mereka mau dan mampu mengerjakannya.
Situasi ini justru akan menghasilkan emosi negatif yang kuat, misalnya anak membenci matematika karena menyusahkannya. Orang tua justru memperburuk situasi karena membuatnya frustrasi dengan memaksanya untuk terus mengerjakannya.
Cara yang dapat membantu anak belajar meregulasi dirinya adalah dengan memberi jeda/istirahat sejenak dan mengijinkan anak untuk misalnya mengambil air minum dan menenangkan diri setiap kali ia mengalami kesulitan.
Atau biarkan anak membuat jadwal jeda secara periodik setiap kali ia mengerjakan PR yang sulit. Orang tua cukup mengawasi di interval waktu istirahatnya dan jangan lupa untuk mengapresiasi usahanya.
Cara ini disebut "scaffolding"
Contoh lain bila anak seringkali tantrum saat berkunjung ke mall, cobalah melakukan kunjungan singkat saja untuk membeli satu atau dua keperluan. Latih anak untuk berjalan disamping orang tua, gandeng tangannya dan berikan point setiap kali dia berhasil mengelola diri untuk tidak tantrum di tempat umum.
Problem lainnya misalnya sulit mengajak anak gosok gigi. Maka buatlah pengalaman menyenangkan bagi anak saat memencet pasta gigi dengan bernyanyi atau menyebut warna dan bentuk. Beri umpan balik positif dan reward saat ia berhasil melakukannya. Lakukan saja dulu step awal seperti ini baru berlanjut ke step selanjutnya. Lakukan secara bertahap, biarkan ia mengeksplorasi sendiri.
Memberi pengalaman yang positif adalah upaya untuk mereframe peristiwa yang tidak nyaman bagi anak sehingga diharapkan ia mampu membangun persepsi positif atas aktivitas yang awalnya tidak disukainya. Cara ini akan membantu anak untuk mengelola dirinya sendiri.
Contoh berikutnya, misalnya saat anak kesulitan mengatur diri dengan jadwal harian. Orang tua bisa menetapkan satu target terlebih dahulu. Berpakaian jam 7 pagi, konsisten di target ini terlebih dahulu.
Jika anak sudah menguasai ini (dalam artian terbiasa melakukannya di jam tersebut) barulah orang tua dapat bergerak ke target selanjutnya, yaitu jam sarapan, memakai sepatu dll.
Memecah rantai aktivitas dalam beberapa langkah kecil memungkin anak untuk mengembangkan kemampuan regulasi diri dalam peningkatan yang dikelola.
Bagaimana sebaiknya respons orang tua terhadap perilaku anak yang inappropriate dan impulsive?
Tetap tenang, kendalikan diri dan beri waktu pada anak untuk menenangkan dirinya.
Anak-anak membutuhkan umpan balik yang non- judgemental dan non-emotional. Apa yang salah, mengapa terjadi seperti itu dan apa yang bisa mereka perbaiki untuk selanjutnya.
Dengan demikian, anak-anak akan belajar untuk memilih cara yang lebih baik dalam merespons suatu situasi.
Jika anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang re?ektif dan analitik, mereka akan menjadi lebih mampu berpikir panjang, re?ektif dan self-aware.
Orang tua pun harus menyesuaikan diri dengan anak, "slowing down", mengalir pelan dan tidak terbawa intensitas emosi yang tinggi di saat anak menampilkan hal yang sama.
Its helpful & good for parents too.
Bagaimanapun, dalam pembentukan regulasi diri pada anak, lingkungan keluarga adalah elemen yang paling penting.
Miranty Novia Wardhani, S.Psi
RS.dr.H. Marzoeki Mahdi Bogor